BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pembangunan
di semua bidang, pergeseran pola masyarakat dari masyarakat agrikultur ke
masyarakat industri dan dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern,
serta tekanan arus globalisasi/informasi yang diperberat dengan krisis
ekonomi, sosial, politik, selain membawa kemajuan dan peningkatan taraf
kehidupan masyarakat, juga telah menimbulkan berbagai masalah.
Masalah yang ditimbulkan, antara lain, terjadinya pergeseran nilai
moral, kesenjangan keadaan sosial ekonomi, proporsi penduduk miskin yang makin
besar, angka pengangguran yang makin tinggi, serta berbagai masalah
sosial lain dan politik, sementara pemenuhan kebutuhan untuk bertahan
hidup makin sulit dilakukan. Kondisi ini mendukung peningkatan
tindak kekerasan, terutama bagi golongan yang dianggap lemah dan
rentan yaitu wanita dan anak-anak.
Kasus
kekerasan berupa tindakan pencurian, pemerasan, perkosaan, pembunuhan,
narkotika, kenakalan remaja, penipuan, pengelapan, pengrusakan, perjudian, dan
kebakaran (Roesdihardjo,1994). Tidak terhitung jumlah korban tindak kekerasan
akibat tekanan sosial politik yang terjadi di beberapa daerah tertentu di
Indonesia, yang tidak saja meninggalkan beban materi, tetapi juga beban
psikososial bahkan rendahnya kualitas kehidupan secara menyeluruh bagi korban
dan keluarga serta masyarakat.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
Sindrom Trauma Perkosaan?
2.
Apa Faktor
Predisposisis Sindrom Trauma Perkosaan?
3.
Apa Faktor
Presipitasi Sindrom Trauma Perkosaan?
4.
Apa Tanda dan Gejala
Sindrom Trauma Perkosaan?
5.
Bagaimana
Mekanisme Koping Sindrom Trauma Perkosaan?
6.
Apa Sumber
Koping Sindrom Trauma Perkosaan?
7.
Bagaimana
Penatalaksanaan Sindrom Trauma Perkosaan?
8.
Bagaimana Asuhan
Keperawatan Sindrom Trauma Nefrotik?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Keadaan dimana seseorang individu
mengalami suatu paksaan, penyerangan kekerasan seksual (penetrasi vagina atau
anus) terhadapnya dan tanpa persetujuannya. Sindrom trauma yang berkembang dari
serangan ini atau upaya penyerangan termasuk suatu fase akut dari disorganisasi
korban dan gaya hidup keluarga serta proses jangka panjang pengorganisasian
kembali gaya hidup.
B.
Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut teori biologik, teori
psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Towsend (1996
dalam Purba dkk, 2008) yaitu:
1. Teori Biologik
a. Neurobiologik
Ada
3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif: sistem
limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan
dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik
merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada
gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial
perilaku kekerasan.
b. Biokimia
Berbagai
neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine, asetikolin, dan
serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls agresif.
Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye
dalam teorinya tentang respons terhadap stress.
c. Genetik
Penelitian
membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif dengan genetik
karyotype XYY.
d. Gangguan Otak
Sindroma
otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan.
Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus temporal, trauma
otak, yang menimbulkan perubahan serebral, dan penyakit seperti
ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh
terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2. Teori Psikologik
a. Teori Psikoanalitik
Teori
ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan
dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep
diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang
dapat meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya.
Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka
terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
b. Teori Pembelajaran
Anak
belajar melalui perilaku meniru. Jika orang tua yang mendisiplinkan anak mereka
dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
3. Teori Sosiokultural
Faktor
budaya dan struktur sosial sebagai pengaruh perilaku agresif.
C.
Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan
perilaku kekerasan sering kali berkaitan dengan (Yosep, 2009):
1. Ekspresi diri, ingin
menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam sebuah
konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
2. Ekspresi dari tidak terpenuhinya
kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
3. Kesulitan dalam mengkomunikasikan
sesuatu dalam keluarga serta tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah
cenderung melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4. Ketidaksiapan seorang ibu dalam
merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
5. Adanya riwayat perilaku anti sosial
meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya
pada saat menghadapi rasa frustasi.
D.
Tanda dan Gejala
Yosep (2009) mengemukakan bahwa
tanda dan gejala perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
1. Fisik
a. Muka merah dan tegang
b. Mata melotot/ pandangan tajam
c. Tangan mengepal
d. Rahang mengatup
e. Postur tubuh kaku
f. Jalan mondar-mandir
2. Verbal
a. Bicara kasar
b. Suara tinggi, membentak atau
berteriak
c. Mengancam secara verbal atau fisik
d. Mengumpat dengan kata-kata kotor
e. Suara keras
f. Ketus
3. Perilaku
a. Melempar atau memukul benda/orang
lain
b. Menyerang orang lain
c. Melukai diri sendiri/orang lain
d. Merusak lingkungan
e. Amuk/agresif
4. Emosi
a. Tidak adekuat
b. Tidak aman dan nyaman
c. Rasa terganggu, dendam dan jengkel
d. Tidak berdaya
e. Bermusuhan
f. Mengamuk, ingin berkelahi
g. Menyalahkan dan menuntut
5. Intelektual
Mendominasi,
cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
6. Spiritual
Merasa
diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
7. Sosial
Menarik
diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
8. Perhatian
Bolos,
mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
E.
Mekanisme Koping
Mekanisme
koping yang biasa digunakan adalah:
a)
Sublimasi, yaitu melampiaskan masalah pada objek lain.
b)
Proyeksi, yaitu menyatakan orang lain mengenal kesukaan/ keinginan tidak
baik.
c)
Represif, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan
dengan melebihkan sikap/ perilaku yang berlawanan.
d)
Reaksi formasi, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila
diekspresikan dengan melebihkan sikap perilaku yang berlawanan.
e)
Displecement, yaitu melepaskan perasaan tertekan dengan bermusuhan pada
objek yang berbahaya.
Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan
situasi berduka yang berkepanjangan dari
seseorang karna ditinggal oleh orang yang dianggap berpangaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak
teratasi, maka dapat menyebabkan seseorang
harga diri rendah (HDR), sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain.
Bila ketidakmampuan bergaul dengan orang lain tidak dapat diatasi maka akan
muncul halusinasi berupa suara-suara atau bayang-bayangan yang meminta klien untuk melakukan
kekerasan. Hal ini data berdampak pada keselamatan dirinya dan orang lain (resiko mencederai
diri, orang lain dan lingkungan).
Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan, dukungan keluarga
yang kurang baik dalam mengahadapi kondisi klien dapat mempengaruhi
perkembangan klien (koping keluarga tidak efektif). Hal ini yang menyebabkan
klien sering keluar masuk RS atau menimbulkan kekambuhan karena dukungan
keluarga tidak maksimal (regimen terapeutik inefektif).
F.
Sumber Koping
Sumber koping dapat berupa aset ekonomi, kemampuan
& ketrampilan, dukungan sosial & motivasi, hubungan antar individu,
keluarga, kelompok & masyarakat. Sumber koping lainnya termasuk kesehatan
& energi, dukungan spiritual, keyakinan positif, ketrampilanmenyelesaikan
masalah & sosial dan kesejahteraan fisik.
G.
Penatalaksanaan
a.
Farmakoterapi
Pengobatan dengan neuroleptika yang
mempunyai dosis efektif tinggi. Contohnya cloropromazine
mengendalikanpsikomotoriknya. Dosis efek rendah : Trifluoperasine estelasine,
Transquilize. Obat anti psikotik seperti neurodeptika efek anti kejang, anti
cemas dan anti agitasi.
b.
Terapi Okupasi
Kegiatan seperti membaca koran, main
catur, rehabilitasi program kegiatan yang telah ditentukan.
c.
Peran Serta
Keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung yang
utama yang memberikan perawatan langsung pada setiap keadaab (sehat-sakit)
klien.
d.
Terapi Somatik
Tujuannya mengubah
perilaku yang mal adaptif menjadi adaptif dengan melakukan tindakan yang
ditunjukkan pada kondisi fisik klien, tetapi target terapi adalah perilaku
klien.
e.
Terapi Kejang
Listrik
ECT bentuk terapi yang
menimbulkan kejang grand mall dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda
yang di tepatkan pada pelipis klien.
H.
Asuhan Keperawatan
I.
Identitas
a.
Klien
b.
Penanggung Jawab
II.
Keluhan Utama
Klien mengatakan tidak bisa tidur,
mondar-mandir, merasa bingung, cemas dan takut. Klien marah jika merasa dirinya
terganggu.
·
Masalah
Keperawatan: Resiko Perilaku Kekerasan
III.
Alasan Masuk
Sebelum masuk rumah sakit klien dirumah
bingung, gelisah dan tidak mengontrol diri, klien juga marah-marah jika dirinya
terganggu. Kemudian oleh keluarganya dibawa ke Rumah Sakit untuk dirawat inap.
·
Masalah Keperawatan:
Perilaku Kekerasan
IV.
Faktor
Predisposisi
1.
Klien pernah
mengalami gangguan jiwa sebelumnya dengan gejala binging, susah tidur,
mondar-mandir, selalu takut, sedih.
2.
Klien gelisah,
takut dan sering marah-marah karena trauma dengan perilaku kekerasan seksual.
3.
Klien mengatakan
bahwa anggota keluarganya tidak ada yang mengalami gangguan jiwa.
V.
Pemeriksaan
Fisik
1.
Tanda-tanda
vital
TD :
110/70mmHg S : 36,40C TB : 159cm
N :
78x/menit R : 23x/menit BB
: 50kg
2. Kondisi Fisik
Klien mengatakan kondisi tubuhnya saat ini
baik-baik dan tidak ada keluhan fisik.
VI.
Psikososial
1.
Genogram
2.
Konsep Diri
a.
Citra Tubuh
Klien memndang terhadap dirinya ada
bagian tubuh yang paling istimewa yaitu wajah, karena klien merasa wajahnya
cantik.
b.
Identitas diri
Klien mempersepsikan dirinya sebagai
anak perempuan dewasa dan belum menikah.
c.
Peran Diri
Klien mengatakan bahwa dalam keluarganya
adalah anka yang disayang dilingkungan masyarakat. Klien juga aktif mengikuti
kegiatan kemasyarakatan seperti karang taruna, pengajian pemuda, dll
d.
Ideal Diri
Klien mengatakan menerima statusnya
sebagai seorang anak dan ingin cepat pulang dan bebas bisa kerja.
e.
Harga Diri
Klien mengatakan hubungan yang paling di
sayang, paling dekat, dapat dipecya adalah ayah dan adiknya.
·
Masalah
Keperawatan :Koping individu tidak efektif
3.
Hubungan Sosial
a.
Klien mengatakan
mempunyai orang yang paling berarti yaitu ayah dan adiknya, apabila ada masalah
klien memilih diam diri dan memendamnya.
b.
Klien mengatakan
dalam kegiatan masyarakat, klien sering ikut karang taruna, pengajian pemuda.
4.
Spiritual
Klien mengatakan beragama islam dan
klien mengatakan saat dirumah sakit tidak rutin dalam beribadah.
VII.
Status Mental
1.
Penampilan
·
Klien tampak
rapi, rambutnya panjang, kulit bersih.
·
Klien berpakaian
sudah rapi, baju dan celana tidak terbalik.
2.
Pembicaraan
Klien ketika berbicara nada suara agak
tinggi, komunikasi kurang terarah dari tema yang dibicarakan.
3.
Aktivitas
Motorik
Pada kondisi sekarang klien terlihat
tampak diam, gelisah, takut. Untuk saat ini klien mulai mampu mengendalikan emosinya.
4.
Interaksi Selama
Wawancara
Saat diwawancara lien kooperatif,
cenderung selalu mempertahankan pendapat dan kebenaran dirinya.
5.
Persepsi
Klien mengatakan tidak pernah mengalami
persepsi apapun (halusinasi)
6.
Proses Pikir
Ppembicaraan klien tidak terarah tetapi
sampai tujuan, sedikit bicara.
7.
Isi Pikir
8.
Tingkat
Kesadaran
Orientasi waktu, tempat dan orang dapat
disebutkan dengan benar dan jelas yang ditandai dengan klien mamapu menyebutkan
hari, tanggal, tahun dengan benar.
VIII.
Kebutuhan
Persiapan Pulang
1.
Makan
Klien mampu makan dengan mandiri dengan
cara yang baik seperti biasanya. Klien makan 3x sehari, minum ± 6 gelas/hari.
2.
Defekasi/berkemih
Klien BAB 1x sehari, BAK ± 5x sehari dan
mampu melakukan eliminasi dengan baik, menjaga kebersihan setelah dari kamar
mandi.
3.
Mandi
Klien mengatakan mandi 2x sehari pagi
dan sore hari, menyikat gigi saat mandi, kebersihan tubuh baik.
4.
Berpakaian
Klien mengatakan ganti pakaian 1x sehari
denagn pakaian yang disediakan rumah sakit.
5.
Istirahat dan tidur
Klien sedikit mengalami susah tidur,
kadang tengah malam terbangun.
6.
Penggunaan obat
Klien mengatakan dirumah sakit selalu
minum obat
7.
Aktivitas di
dalam rumah
Klien bisa membantu pekerjaan rumah
seperti mencuci, menyapu dll.
8.
Aktivitas di
luar rumah
IX.
Aspek medik
Terapi Obat:
·
Phenidyl 2x2 mg
·
Pesperidon 2x2 mg
·
CPZ
(Cloropromazine) 1x100 mg
X.
Masalah
keperawatan
1.
Resiko
mencederai diri, orang lain dan lingkungan
2.
Perilaku
kekerasan
3.
Mekanisme koping
tidak efektif
XI.
Pohon masalah
Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
Perilaku
Kekerasan
Mekanisme Koping Tidak Efektif
XII.
Diagnosa
keperawatan
a.
Resiko
Mencederai diri, orang lain dan lingkungan b.d Perilaku Kekerasan
b.
Perilaku
Kekerasan b.d Mekanisme Koping Individu Tidak Efektif
XIII.
Intervensi
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
|
PERENCANAAN
|
INTERVENSI
|
|
TUJUAN
|
KRITERIA
HASIL
|
||
Resiko
mencederai diri dan orang lain berhubungan dengan perilaku kekerasan
|
TUM:
Klien tidak
mencederai diri sendiri
TUK:
1. Klien
dapat membina hubungan saling percaya
|
1. Klien
mau membalas salam
2. Klien
mau berjabat tangan
3. Klien
mau menyebutkan nama
4. Klien
mau tersenyum
5. Klien
mau kontak mata
6. Klien
mau tau nama perawat
|
1. Beri
salam
2. Sebutkan
nama perawat sambil jabat tangan
3. Jelaskan
maksud hubungan interaksi
4. Jelaskan
tentang kontrak yang akan dibuat
5. Beri
rasa aman dan sikap empati
6. Lakukan
kontak singkat tpi sering
|
|
2. Klien
dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
|
1. Klien
mengungkapkan perasaannya
2. Klien
dapat mengungkapkan penyebab marah
|
1. Beri
kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya
2. Bantu
klien untuk mengungkapkan penyebab marah
|
|
3. Klien
dapat mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan
|
1. Klien
dapat mengungkapkan persaab saat marah
2. Klien
dapat menyimpulkan tanda dan gejala marah yang dialami
|
1. Anjurkan
klien mengungkapkan apa yang dirasakan saat marah
2. Simpulkan
bersama klien tanda dan gejala marah yang dialami klien
|
|
4. Klien
dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
|
1. Klien
dapat mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
2. Klien
dapat bermain peran sesuai perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
3. Klien
dapat mengetahui cara yang biasa dilakukan untuk menyelesaikan masalah
|
1. Anjurkan
klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan klien
2. Bantu
klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
3. Bicarakan
dengan klien, apakah dengan cara yang klien lakukan masalahnya selesai
|
|
5. Klien
dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
|
1. Klien
dapat menjelaskan akibat dari cara yang digunakan klien:
·
Akibat pada klien sendiri
·
Akibat pada orang lain
·
Akibat pada Lingkungan
|
1. Bicarakan
akibat/kerugian dari cara yang dilakukan klien
2. Bersama
klien menyimpulakn akibat dari cara yang dilakukan oleh klien
3. Tanyakan
kepeda klien “apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat”
|
|
6. Klien
dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah perilaku kekerasan
|
1. Klien
dapat menyebutkan contoh pencegahan perilaku kekerasan secara fisik:
·
Tarik napas dalam
·
Pukul kasur dan bantal
·
Dll: kegiatan fisik
2. Klien
dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah perilaku kekerasan
3. Klien
mempunyai jadwal untuk melatih cara pencegahan fisik yang telah dipelajari
sebelumnya
4. Klien
mengevaluasi kemampuannya dalam melakukan cara fisik sesuai jadwal yang telah
disusun
|
1. Diskusikan
kegiatan fisik yang biasa dilakukan klien
2. Beri
pujian atas kegiatan fisik yang biasa dilakukan klien
3. Diskusikan
dua cara fisik yang paling mudah dilakukan untuk mencegah perilaku kekerasan
yaitu: tarik napas dalam dan pukul bantal serta kasur
1. Diskusikan
cara melakuakan napas dalam dengan klien
2. Beri
contoh pada klien cara menarik napas dalam
3. Minta
klien untuk mengikuti contoh yang diberikan sebanyak 3kali
4. Beri
pujian positif atas kemampuan klien dalam mendemonstrasikan cara menarik
napas dalam
5. Tanyakan
perasaan klien setelah selesai
6. Anjurkan
klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat marah
1. Diskusikan
dengan klien mengenai frekuensi latihan yang akan dilakukan sendiri oleh
klien
2. Susun
jadwal kegiatan untuk melatih cara yang telah dipelajari
1. Klien
mengevaluasi pelaksanaan latihan, cara pencegahan perilaku kekerasan yang
telah dilakukan dengan mengisi jadwal kegiatan harian
2. Validasi
kemampuan klien dalam melaksanakan latihan
3. Berikan
pujian atas keberhasilan klien
4. Tanyakan
pada klien:
“apakah kegiatan cara
pencegahan perilaku kekerasan dapat mengurangi perasaan marah”
|
|
7. Klien
dapat mendemonstrasikan cara sosial untuk mencegah perilaku kekerasan
|
1. Klien
dapat menyebutkan cara bicara (verbal) yang baik dalam mencegah perilaku
kekerasan:
·
Meminta dengan baik
·
Menolak dengan baik
·
Mengungkapkan perasaan dengan
baik
2. Klien
dapat mendemonstrasikan
cara verbal yang baik
3. Klien
mempunyai jadwal untuk melatih bicara yang baik
4. Klien
melakukan evaluasi terhadap kemampuan cara bicara yang sesuai dengan jadwal
yang telah disusun
|
1. Diskusikan
cara bicara yang baik dengan klien
2. Beri
contoh cara bicara yang baik:
·
Meminta dengan baik
·
Menolak dengan baik
·
Mengungkapkan perasaan dengan
baik
1. Minta
klien mengikuti contoh cara bicara yang baik:
·
Meminta dengan baik
“Saya minta uang untuk beli
makanan”
·
Menolak dengan baik
“Maaf saya tidak bisa
melakukannya, karena ada kegiatan lain”
·
Mengungkapkan perasaan dengan
baik
“Saya kesal karenapermintaan
saya tidak dikabulkan”
2. Minta
klien mengulang sendiri
3. Beri
pujian atas keberhasilan klien
1. Diskusikan
dengan klien tentang waktu dan kondisi cara bicara yang dapat di latih
diruangan, misalnya: meminta obat, baju, dll.
2. Susun
jadwal kegiatan untuk melatih cara bcara yang telah dipelajari
1. Klien
mengevaluasi pelaksanaan latihan cara bicara yang baik dengan mengisi jadwal
kegiatan
2. Validasi
kemampuan klien dalam melaksanakan latihan
3. Beri
pujian atas keberhasilannya
4. Tanyakan
kepada klien
“Bagaimana perasaan klien
setelah latihan cra bicara yang baik? Apakah keinginan marah berkurang?”
|
XIV.
Strategi Pelaksanaan
1.
Proses
Keperawatan
a.
Kondisi klien
b.
Diagnosa
keperawatan
2.
Strategi
Komunikasi
SP 1: Membina hubungan
saling percaya, identifikasi penyebab dan gejala marah
a.
Fase Orientasi
“Selamat pagi mbk,
perkenalkan nama saya perawat Maharani Putri, panggil saya Putri, saya
mahasiswa dari klaten. Nama mbk siapa, senangnya dipanggil apa?”
“Bagaimana persaan mbk
hari ini? masih ada perasaan marah/kesal?”
“Baik mbk kita akan
berbincang-bincang tentang persaan marah/kesal mbk saat ini”
“Berapa lama mbk mau
kita berbincang-bincang?” bagaimana kalau 10 menit?” Dimana enaknya kita duduk
untuk berbincang-bincang”?
b.
Fase Kerja
“Apa yang menyebabkan
mbk marah? Apakah sebelumnya mbk pernah marah? Terus, penyebabnya apa? Samakah
dengan sekarang?
O..iya, apakah ada
penyebab lain yang membuat mbk marah?”
“Apa yang mbk rasakan?”
“Setelah itu apa yang
mbk lakukan? O..iya, jadi mbk marah-marah membanting pintu. Apakah dengan cara
itu stress mbk jadi hilang? Iya, tentu tidak. Ada kerugian cara yang mbk
lakukan?
“Maukah mbk belajar
cara mengungkapkan kemarahan yang baik tanpa menimbulkan kerugian”?
“Ada beberapa cara
untuk mengontrol kemarahan mbk. Salah asatunya adalah dengan cara fisik. Jadi
melalui kegiatan fisik disalurkan rasa marah”.
“Begini mbk, kalau tanda-tanda
marah tadi sudah mbk rasakan maka mbk berdiri, lalu tarik napas lewat hidung,
tahan sebentar lalu keluarkan perlahan-lahan melalui mulut. Nah, lakukan 3 kali
ya mbk. Bagus sekali, mbk sudah bisa melakukannya. Bagaimana perasaannya?”
“Nah, sebaiknya latihan
ini bapak lakukan secara rutin, sehinggan bila sewaktu-waktu rasa marah itu
muncul bapak sudah terbiasa melakukannya.”
c.
Fase Terminasi
“Bagaimana persaan mbk
setelah berbincang-bincang tentang kemarahan mbk?”
“Iya, jadi ada 2
penyebab mbk marah.... (sebutkan) dan yang bapak rasakan...(sebutkan) dan yang
mbk lakukan....(sebutkan) serta akibatnya...(sebutkan)
“Coba selama saya tidak
ada, ingat-ingat lagi penyebab marah mbk yang lalu, apa yang mbk lakukan kalau
marah yang belum kita bahas dan jangan lupa latihan napas dalamnya ya, mbk.”
“Sekarang kita buat
jadwal latihan ya mbk, berapa kali sehari mbk mau latihan napas dalam? Jam
berapa saja mbk?”
“Bagaimana kalau besok
lagi kita latihan cara yang lain untuk mencegah atau mengontrol marah mbk.
Tempatnya disini ya mbk?
“Selamat pagi”.
XV.
Evaluasi
1.
Klien dapat
membina hubungan saling percaya
2.
Klien dapat
mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
3.
Klien dapat
mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekersan
4.
Klien dapat
mendemonstrasikan cara untuk mencegah perilaku kekerasan
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Keadaan dimana seseorang individu
mengalami suatu paksaan, penyerangan kekerasan seksual (penetrasi vagina atau
anus) terhadapnya dan tanpa persetujuannya. Sindrom trauma yang berkembang dari
serangan ini atau upaya penyerangan termasuk suatu fase akut dari disorganisasi
korban dan gaya hidup keluarga serta proses jangka panjang pengorganisasian
kembali gaya hidup.
DAFTAR PUSTAKA
·
Proses
Keperawatan Jiwa/Budi Anna Keliat.-Ed 2-Jakarta:EGC,2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar