BAB
II
TINJAUAN
TEORI
A. Lingkup
Keperawatan Komunitas
Lingkup
praktik keperawatan komunitas berupa asuhan keperawatan langsung dengan fokus
pemenuhan kebutuhan dasar komunitas yang terkait kebiasaan / perilaku dan pola
hidup tidak sehat sebagai akibat ketidakmampuan masyarakat beradaptasi dengan
lingkungan internal dan eksternal. Asuhan keperawatan komunitas menggunakan
pendekatan proses keperawatan komunitas, yang terdiri atas pengkajian,
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dengan entry point pada individu keluarga,
kelompok atau komunitas (Achjar, 2012).
B. Pengkajian
Keperawatan Komunitas
Pengkajian
asuhan keperawatan komunitas terdiri atas dua bagian utama, yaitu inti
komunitas (core) dan delapan subsistem yang melengkapinya. Inti komunitas
menjelaskan kondisi penduduk yang dijabarkan dalam demografi, vital statistik,
sejarah komunitas, nilai dan keyakinan, serta riwayat komunitas, sedangkan
delapan subsistem lainnya meliputi lingkungan fisik, pendidikan, keamanan dan
transportasi, politik dan pemerintah, layanan kesehatan dan sosial, komunikasi,
ekonomi dan rekreasi (Achjar, 2012).
Komponen
lingkungan fisik yang dikaji meliputi lingkungan sekolah dan tempat tinggal
yang dapat mempengaruhi kesehatan, batasan wilayah, luas daerah, denah atau
peta wilayah, iklim, jumlah dan kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, dan
kegiatan penduduk sehari-hari. Lingkungan fisik juga dapat dikaji melalui
wienshield survey (Achjar, 2012).
Data
yang dikaji dari subsistem layanan kesehatan dan sosial meliputi fasilitas di
dalam komunitas dan di luar komunitas. Layanan kesehatan meliputi ketersediaan
layanan kesehatan, bentuk layanan, jenis layanan, sumber daya karakteristik
konsumen, statistik, pembayaran, waktu pelayanan, kemanfaatan, keterjangkauan,
keberlangsungan, dan keberterimaan layanan di komunitas. layanan sosial dapat
meliputi layanan konseling, panti wreda bagi lansia, pusat perbelanjaan, dan
lain-lain yang merupakan sistem pendukung bagi komunitas dalam menyelesaikan masalah
kesehatan. Pengkajian layana kesehatan dan sosial juga meliputi kebijakan dari
pemerintah setempat terhadap kedua layanan tersebut (Achjar, 2012).
Pada
subsistem ekonomi dikaji pendapatan penduduk, rata-rata penghasilan, status
pekerjaan, jenis pekerjaan, sumber penghasilan, jumlah penduduk miskin,
keberadaan industri, toko/ pusat perbelanjan, dan tempat komunitas bekerja, dan
bantuan dana untuk pemeliharaan kesehatan. Komponen ini mempermudah komunitas
memperoleh bahan makanan dam sebagainya (Achjar, 2012).
Sementara
itu, pada komponen politik dan pemerintahan dikaji situasi politik dan
pemerintahan di komunitas, peraturan dan kebijakan pemerintah daerah terkait
kesehatan komunitas, dan adanya program kesehatan yang ditunjukan pada peningkatan
kesehatan komunitas (Achjar, 2012).
Pengkajian
subsistem komunikasi meliputi media informasi yang dimanfaatkan, bagaimana
komunikasi yang sering dimanfaatkan masyarakat, orang-orang yang berpengaruh,
keikutsertaan dalam pendidikan kesehatan, bagaimana bisanya komunitas
memperoleh informasi tentang kesehatan, adakah perkumpulan atau wadah bagi
komunitas sebagai sarana untuk mendapatkan informasi, dari siapa komunitas
mendapatakan informasi tentang kesehatan, dan adakah sarana komunikasi formal
dan informal di komunitas (Achjar, 2012).
Komponen
pendidikan meliputi status pendidikan masyarakat, ketwrsediaan dan
keterjangkauan sarana pendidikan, fasilitas pendidikan yang ada di komunitas,
jenis pendidikan, tingkat pendiddikan dan komunitas yang buta huruf (Achjar,
2012).
Pengkajian
subsistem rekreasi diarahkan pad kebiasaan komunitas berekreasi, aktivitas di
luar rumah termasuk dalam mengisi waktu luang dan jenis rekreasi yang dapat
dimanfaatkan oleh komunitas, dan sarana penyaluran bakat komunitas. metode
pengumpulan data pengkajian asuhan keperwatan komunitas antara lain windshield
survey, informant interview, observasi partisipasi dan focus group discussion
(FGD) (Achjar, 2012).
Windshield
survey dilakukan dengan berjalan-jalan di lingkungan komunitas untuk menemukan
gambaran tentang kondisi dan situasi yang terjadi di komunitas, lingkungan
sekitar komunitas, kehidupan komunitas, dan karakteristik penduduk yang ditemui
di jalan saat survei dilakukan (Achjar, 2012).
Informant
interview, instrumen yang perlu dikembangkan untuk melakukan pengkajian
terhadap masyarakat anatara lain kuesioner, pedoman wawancara, dan pedoman
observasi. Untuk mendapatakan hasil yang akauarat dan agar masyarakat membina
rasa percaya (trust) dengan perawat diperluka kontak yang lama dengan komunitas.
perawat juga harus menyertakan lembar persetujuan (informed consent) komunitas
yang dibubuhi tanda tangan atau cap
jempol setiap hari akan melakuakan tindakan yang membutuhkan persetujuan
komunitas. informed consent juga mencantumkan jaminan kerahasiaan terhadap isi
persetujuan dan pendapat yang telah disampaikan. Wawancara dilakukan keapada
key informant atau tokoh yang mengusai program (Achjar, 2012).
Observasi
partisipasi, setiap kegiatan kehidupan di komunitas perlu diobservasi. Tentukan
berapa lama observasi akan dilakukan, apa, di mana, waktu, dan tempat komunitas
yang akan diobservasi. Kegiatan observasi dapat dilakuakan menggunkan format
observasi yang sudah disiapkan terlebih dahulu, kemudian catat semua yang
terjadi, dengan tambahan penggunaan kamera atau video. Informasi yang penting
diperoleh menyangkut aktivitas dan arti sikap atau tampilan yang ditemukan di
komunitas. observasi dilakukan terhadap kepercayaan komunitas, norma, nilai
kekuatan, dan proses pemecahan masalah di komunitas (Achjar, 2012).
Selain
data primer, data sekunder yang diperoleh melalui laporan/dokumen yang sudah
dibuat didesa/kelurahan, puskesmas, kecamatan, atau dinas kesehatan misalnya
laporan tahunan puskesmas, monografi profil kesehatan, dsb, juga perlu dikumpulkan
dari komunitas. setlah dikumpulkan dari pengkajian, selanjutnya dianalisis,
sehingga perumusan diagnosis keperawatan dapat dilakukan (Achjar, 2012).
A. Diagnosa
Keperawatan Komunitas
Diagnosis
dirumuskan terkait garis pertahanan yang mengalami kondisi terancam. Ancaman
terhadap garis pertahanan fleksibel memunculkan diagnosis risiko; dan terhadap
garis pertahankan resisten memunculkan diagnosis aktual/gangguan (Achjar,
2012).
Diagnosis
keperawatan komunitas disusun berdasarkan jenis diagnosis, sebagai berikut.
1.
Diagnosis
Sejahtera
Diagnosis
sejahtera/wellness digunakan bila komunitas mempunyai potensi untuk
ditingkatkan, belum ada data maladaptif. Perumusan diagnosis keperawatan
komunitas potensial, hanya terdiri dari komponen problem (P) saja, tanpa
komponen etiologi (E).
Contoh
diagnosis sejahtera/wellness: Potensial peningkatan tumbuh kembang pada balita
di RT 05 RW 01 desa X kecamatan A, ditandai dengan cakupan imunisasi 95% (kota 95%),
80% berat badan balita di atas garis merah KMS, 80% pendidikan ibu adalah SMA,
cakupan Posyandu 95%.
2.
Diagnosis
ancaman (risiko)
Diagnosis
risiko digunakan bila berdapat belum terdapat paparan masalah kesehatan, tetapi
sudah ditemukan beberapa data maladaptif yang memungkinkan timbulnya gangguan.
Perumusan diagnosis keperawatan komunitas risiko terdiri atas problem (P),
etiologi (E), dan symptom/sign (S).
Contoh
diagnosa risiko: Risiko terjadinya konflik psikologis pada warga RT 05 RW 01
DESA x Kecamatan A yang berhubungan dengan koping masyarakat yang tidak efektif
ditndai dengan pernah terjadi perkelahian antar RT, kegiatan gotong-royong dan
silahturahmi rutin RW jarang dilakukan, penyuluhan kesehatan terkait kesehatan
jiwa belum pernah dilakukan, masyarakat sering berkumpul dengan melakukan
kegiatan yang tidak positif, seperti berjudi.
3.
Diagnosis
aktual/gangguan
Diagnosis
gangguan ditegakkan bila sudah timbul gangguan/masalah kesehatan di komunitas,
yang didukung oleh beberapa data maladaptif. Perumusan diagnosis keperawatan
komunitas aktual terdiri atas problem (P), etiologi (E), dan symptom/sign (S).
Contoh
aktual/gangguan: diagnosis gangguan ditegakkan bila sudah timbul
gangguan/masalah kesehatan di komunitas, yang didukung oleh beberapa data
maladaptif. Perumusan diagnosis keperawatan komunitas aktual terdiri atas
problem (P), etiologi (E), dan symptom/sign (S) (Achjar, 2012).
Contoh
diagnosis aktual: gangguan/masalah kesehatan reproduksi pada agregat remaja
yang berhubungan dengan kurangnya kebiasaan hiegene personal, ditandai dengan
92% remaja mengatakan mengalami keputihan patologis, upaya yang dilakukan
remaja dalam mengatasi keputihan 80% didamkan saja, 92% remaja mengatakan belum
pernah memperoleh informasi kesehatan reproduksi dari petugas kesehatan
(Achjar, 2012).
Tingginya
kasus diare di wilayah RW 05 kelurahan X yang berhubungan dengan tidak
adekuatnya penggunaan fasilitas layanan kesehatan untuk penanggulangan diare,
keterbatasan, dan kualitas sarana pelayanan diare (Achjar, 2012).
Setelah
data dianalisis dan masalah keperawatan komunita ditetapkan, prioritas masalah kesehatan
komunits yang ada perlu ditetapkan bersama masyarakat melalui musyawarah
masyarakat desa (MMD) atau lokakarya mini masyarakat. Prioritas masalah dibuat
berdasarkan kategori dapat diatasi, kemudahan, dan kekhususan, mengingat
banyaknya masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Pemilihan masalah ini sangat
penting dilakukan, agar implementasi yang dilakukan benar-benar bermanfaat bagi
masyarakat dan secara tidak langsung akan membangun rasa percaya diri dan
kompetensi masyarakat untuk mengatasi masalah yang lain (Achjar, 2012).
Penentuan
prioritas masalah keperawatan komunitas dapat dilakukan melalui metode berikut.
a.
Paper
and Pencil Tool
Contoh penentuan prioritas
masalah keperawatan komunitas menggunakan Papper and Pencil Tool.
b.
Scoring
diagnosis keperawatan komunitas
Contoh penentuan prioritas masalah keperawatan
komunitas menggunakan metode skoring diagnosis keperawatan komunitas (Achjar,
2012).
B. Intervensi
Keperawatan Komunitas
Tahap
berikutnya setelah merumuskan diagnosis keperawatan komunitas adalah melakukan
perencanaan. Perencanaan diawali dengan merumuskan tujuan yang ingin dicapai
serta rencana tindakan untuk mengatasi masalah yang ada. Tujuan dirumuskan
untuk mengatasi atau meminimalkan stressor danervensi dirancang berdasarkan
tiga tingkat pencegahan. Pencegahan primer untuk memperkuat garis pertahanan
fleksibel, pencegahan sekunder untuk mempekuat garis pertahanan normal, dan
pencegahan tersier untuk memperkuat garis pertahanan resisten (Achjar, 2012).
Tujuan
terdiri atas tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Penetapan tujuan
jangka panjang (tujuan umum/TUM) mengacu pada bagaimana mengatasi
problem/masalah (P) di komunitas., sedangkan penetapan tujuan jangka pendek
(tujuan khusus/TUK) mengacu pada bagaimana mengatasi etiologi (E). Tujuan
jangka pendek harus SMART (S = spesifik, M = meassurable/dapat diukur, A =
achievable/dapat dicapai, R = reality, T = time limited, punya limit waktu)
(Achjar, 2012).
C. Implementasi
Keperawatan Komunitas
Implementasi
merupakan langkah yang dilakukan setelah perencanaan program. Program dibuat
untuk menciptakan keinginan berubah msayarakat. Sering kali, perencanaan
program yang sudah baik tidak diikuti dengan waktu yang cukup untuk
merencanakan implementasi. Implementasi melibatkan aktivitas tertentu sehingga
program yang ada dapat dilaksanakan, diterima, dan direvisi jika tidak
berjalan. Implementasi keperawatan dilakukan untuk mengatasi masalah kesehat
komunitas menggunakan strategi proses kelompok, pendidikan kesehatana
(empowerment). Perawat komunitas menggali dan meningkatkan potensi komunitas
untuk dapat mandiri dan memelihara kesehatannya (Achjar, 2012).
Tujuan
akhir setiap program di masyarakat adalah melakukan perubahan masyarakat.
Program dibuat untuk menciptakan keinginan berubahdari anggota masyarakat.
Perubahan nilai dan norma di masyarakat disebabkan oleh faktor eksternal,
seperti adanya undang-undang, situasi politik, dan kejadian kritis eksternal
masyarakat. Dukungan eksternal ini jug dapat dijadikan daya pendorong bagi
tindakan kelompok untuk melakukan perubahan perilaku masyarakat. Organisasi eksternal
dapat menggunakan model social planning dan locality development untuk
melakukan perubahan, menggalakkan kemitraan dengan memanfaatkan sumber daya internal
dan sumber daya eksternal (Achjar, 2012).
Perawat
komunitas harus memiliki pengetahuan yang memadai agar dapat memfasilitasi
perubahan dengan baik, termasuk pengetahuan tentang teori dan model berubah.
Perubahan yang terjadi di masyarakat sebaiknya dimulai dari tingkat individu,
keluarga, masyarakat, dan sistem di masyarakat. Ada beberapa model perubahan
(Ervin, 2002), yaitu :
1. Model Berubah Kurt Lewin
Proses berubah terjadi pada saat individu, keluarga, dan komunitas
tidak lagi nyaman dengan kondisi yang ada. Model ini terdiri dari:
a. Unfreezing, bila ada perasaan butuh
untuk berubah baru implementasi dilakukan, dengan tujuan membantu komunitas
menjadi siap untuk melakukan perubahan.
b. Change, yaitu intervensi mulai
diperkenalkan kepada kelompok.
c. Refreezing, meliputi bagaimana membuat
suatu program menjadi stabil, melalui pemantauan dan evaluasi.
Contoh: Pada kasus flu burung, saat unfreezing
berubah menjadi refreezing, perawat komunitas perlu mempertahankan kondisi yang
ada dengan melakukan kemitraan tentang bagaimana kebiasaan masyarakat yang
sudah bagus dapat dipertahankan dan kebiasaan masyarakat yang kurang mendukung
kesehatan tidak lagi terjadi, seperti kebiasaan tidak melakukan cuci tangan,
dsb.
2. Strategi berubah Chin & Benne
Strategi berubah ini sangat cocok
digunakan oleh perawat komunitas dalam mengkaji
status individu, kelompok, dan masyarakat dalam membuat keputusan untuk
berubah. Strategi ini merupakan strategi untuk melakukan perubahan di komunitas,
bukan tahap proses berubah. Menurut model ini, untuk melakukan perubahan
diperlukan strategi perubahan, yaitu:
a. Rational empiris
Dikatakan bahwa untuk melakukan
perubahan di komunitas, perlu terdapat fakta dan pertimbangan tentang seberapa
besar keuntungan yang diperoleh dengan adanya perubahan tesebut. Contoh: adanya
kebiasaan merokok yang banyak terjadi di masyarakat, terutama remaja,
diperlukan peran perawat komunitas untuk memfasilitasi perubahan dengan seperti
poster, leaflet, modul data kejadian kesakitan dan kematian akibat merokok atau
mengajak melihat langsung kondisi korban akibat rokok. Dengan adanya fakta,
diharapkan terjadi perubahan pada individu.
b. Normative reedukatif, yaitu
pertimbangan tentang keselarasan perubahan dengan norma yang ada di masyarakat.
c. Power coercive, yaitu strategi
perubahan yang menggunakan sanksi baik politik maupun sanksi ekonomi. Misalnya,
sanksi terhadap perokok yang merokok di tempat umum berupa denda atau kurungan.
3. First order and second order change
Menurut model ini, first oder
bertujuan mengubah substansi atau isi di dalam sistem, sedangkan pada second
order, perubahan ditujukan pada sistemnya.
Contoh : Adanya risiko pergaulan bebas
yang saat ini marak di kalangan remaja, perawat komunitas perlu mengubah
substansi yang ada dalam sistem (first order), seperti membentuk dan melatih
kader kesehatan remaja (KKR) di sekolah dan di masyarakat, melakukan promosi
kesehatan kepada siswa, guru, orang tua, dan masyarakat, melakukan dukungan
lintas-sektor dan lintas-program kepada aparat terkait program melalui jaringan
kemitraan, dsb. Selain itu, diperlukan
juga perubahan pada sistem (second order) termasuk fasilitas yang ada, seperti
penyediaan klinik remaja, revitalisasi UKS di sekolah, kebijakan pemeintah
terrkait remaja, dsb.
Mengukur adanya perubahan masyarakat
pada tingkat individu, dapat diketahui dari tingkat kesadaran individu terhadap
perubahan, bagaimana individu mengerti tentang masalah yang dihadapi, tingkat
partisipasi individu, dan adanya perubahan dalam bentuk tingkah laku yang
ditampilkan. Adanya role model yang ada di masyarakat dapat dijadikan pendorong
untuk mengubah norma dan praktik individu dalam perubahan masyarakat.
Pada tingkat masyarakat, perubahan
lebih difokuskan pada kelompok dan organisasi, termasuk adanya perubahan
kebijakan yang berhubungan dengan masalah yang terjadi di masyarakat, adanya
dukungan dan partisipasi dalam kegiatan masyarakat serta aktivitas lain yang
dapat dievaluasi melalui pengembangan koalisi, partisipasi masyaakat dalam
dukungan untuk mencapai tujuan, dan
perubahan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
Setiap akan melakukan kegiatan di
masyarakat/implementasi program, sebaiknya dibuat dahulu laporan pendahuluan
(LP) kegiatan asuhan kepeawatan komunitas, yang meliputi :
a. Latar belakang, yang berisi kriteria komunitas,
data yang perlu dikaji lebih lanjut terkait implementasi yang akan dilakukan,
dan masalah keperawatan komunitas yang terkait implementasi saat ini.
b. Proses kepeawatan komunitas, yang
beisi diagnosis keperawatan komunitas, tujuan umum, dan tujuan khusus.
c. Implementasi tindakan keperawatan,
yang berisi topik kegiatan target kegiatan, metode, strategi kegiatan, media
dan alat bantu yang dipergunakan, waktu dan tempat pelaksanaan kegiatan,
pengorganisasian petugas kesehatan beseta tugas, susunan acara, setting tempat
acara.
d. Kkriteria evaluasi, yang berisi
evaluasi struktur, evaluasi proses, dan evaluasi hasil dengan menyebutkan
target presentase pencapaian hasil yang diinginkan.
Pelaksanaan kegiatan puskesmas,
dilakukan berdasarkan POA Perkesmas yang
telah disusun. Pemantauan kegiatan perkesmas secara berkala dilaksanakan oleh
Kepala Puskesmas dan Koordinator Perkesmas dengan melakukan diskusi tentang
permasalahan yang dihadapi terkait pelaksanaan perkesmas serta melakukan
penilaian setiap akhir tahun dengan membandingkan hasil pelaksanaan kegiatan
dengan rencana yang telah disusun.
Pembahasan masalah perkesmas dapat dilakukan dengan cara mengadakan kegiatan.
a. Lokakarya Mini Bulanan
Lokakarya Mini Bulanan
dilakukan setiap bulan di Puskesmas, dihadiri oleh staf Puskesmas dan unit
penunjangnya untuk membahas kinerja internal Puskesmas termasuk cakupan, mutu,
pembiayaan, masalah, dan hambatan yang ditemui termasuk pelaksanaan perkesmas
dan kaitannya dengan masalah lintas-program lainnya.
b. Lokakarya Mini Tribulanan
Lokakarya Mini Tribulanan
dilakukan setiap 3 bulan sekali , dipimpin oleh camat dan dihadiri oleh staf
puskesmas dan unit penunjangnya, instansi lintas-sektor tingkat kecamatan untuk
membahas masalah dalam pelaksanaan puskesmas termasuk perkesmas terkait dengan
lintas-sektor dan permasalhan yang terjadi untuk mendapatkan penyelesaiannya.
c. Refleksi Diskusi Kasus (RDK)
Refleksi Diskusi Kasus
(RDK) merupakan metode yang digunakan dalam merefleksikan pengalaman dalam satu
kelompok diskusi untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman yang didasarkan atas
standar yang berlaku. Proses diskusi ini memberikan ruang dan waktu bagi
peserta diskusi untuk merefleksikan pengalaman masing-masing serta kemampuannya
tanpa tekanan kelompok, terkondisi, setipa peserta saling mendukung, memberi
kesempatan belajar terutama bagi peserta yang tidak terbiasa dan kurang percaya
diri dalam menyampaikan pendapat (WHO 2003). RDK dilakukan minimal seminggu
sekali, dihadiri oleh perawat perkesmas di puskesmas untuk membahas tehnis perkesmas
dalam pemberian asuhan keperawatan komunitas kepada individu atau keluarga atau
kelompok dan masyarakat agar pemahaman dan ketrampilan perawat komunitas lebih
meningkat. Adapun persyaratan metode RDK adalah :
1) Kelompok terdiri atas 5-8 orang
2) Salah satu anggota kelompok berperan
sebagai fasilitator, satu orang lagi menjadi penyaji, dan sisanya sebagai
peserta.
3) Posisi fasilitator, penyaji, dan
peserta lain dalam diskusi setara (equal)
4) Kasus yang disajikan oleh penyaji
merupakan pengalaman yang terkait asuhan keperawatan dikomunitas yang menarik
untuk dibahas dan didiskusikan perlu penanganan dan pemecahan masalah.
5) Posisi duduk sebaiknya melingkar tanpa
dibatasi oleh meja atau benda lainnya agar setiap peserta dapat saling
bertatapan dan berkomunikasi secara bebas.
6) Tidak boleh ada interuksi dan hanya
satu orang saja yang berbicara dalam satu saat, peserta lainnya memperhatikan
dan mendengarkan
7) Tidak
diperkenalkan ada dominasi, kritik yang memojokkan peserta lainnya.
8) Peserta berbagi (sharing) pengalaman
selama satu jam dan dilakukan secara rutin.
9) Setiap anggota secara bergiliran
mendapatkan kesempatan sebagai fasilitator, penyaji dan anggota peserta
diskusi.
10) Selama diskusi diusahakan agar tidak
ada peserta yang tertekan dan terpojok yang diharapkan justru dukungan dan
dorongan dari setiap peserta agar bisa menyampaikan pendapat mereka
masing-masing (Achjar, 2012).
D. Evaluasi
Evaluasi
merupakn tahap akhir proses keperawatan. Evaluasi merupakan sekumpulan
informasi yang sistemik berkenan dengan program kerja dan efektifitas dari
serangkaian program yang digunakn masyarakat yang terkait program kegiatan,
karakteristik, dan hasil yang telah dicapai (Achjar, 2012).
Program
evaluasi dilakukan untuk memberikan informasi kepada perencanaan program dan
pengambilan kebijakan tentang efektifitas dan efisien program. Evaluasi
merupakan sekumpulan metode dan ketrampilan untuk menentukan apakah program
sudah sesuai dengan rencana dan tuntunan masyarakat. Evaluasi digunakan untuk
mengetahui seberapa tujuan yang ditetapkan telah tercapai dan apakah intervensi
yang dilakukan efektif untuk msyarakat setempat sesuai dengan kondisi dan
situasi masyarakat, apakah sesuai dengan rencana atau apakah dapat mengatasi
masalah masyarakat. Evaluasi ditujukan untuk menjawab apa yang terjadi
kebutuhan masyarakat dan program apa yang dibutuhkan masyarakat, apakah media
yang digunakan tepat, ada tindakan program perencanaan yang dapat
diimplementasikan apakah program dapat menjangkau masyarakat, siapa yang
menjadi target sasaran program, apakah program yang dilakukan da[at memenuhi
kebutuhan masyarakat. Evaluasi juga bertujuan mengidentifikasi masalah dan
perkembangan program dan penyelesaiannya (Achjar, 2012).
Program
evaluasi dilaksanakan untuk memastikan apakah hasil program sudah sejalan
dengan tujuan dan sasaran, memastikan biaya program, sumberdaya, dan waktu
pelaksanaan program yang telah dilakukan. Evaluasi juga diperlukan untuk
memastikan apakah prioritas program yang disusun sudha memenuhi kebutuhna
masyarakat dengan membandingkan perbedaan program terkait keefektifannya
(Achjar, 2012).
Evaluasi
dapat berupa evaluasi struktur, proses, dan hasil. Evaluasi program merupakan
proses mendapatkan dan menggunakan informasi sebagai dasar proses pengambilan
keputusan, dengan cara meningkatkan upaya pelayanan kesehatan. Evaluasi proses,
difokuskan pada urutan kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan hasil. Evaluasi
hasil dapat diukur melalui perubahan pengetahuan (Knowledge), sikap (attitude),
dan perubahan perilaku masyarakat (Achjar, 2012).
Evaluasi
terdiri atas evaluasi formatif, menghasilkan informasi untuk umpan balik selam
program berlangsung. Sementara itu, evaluasi sumatif dilakukan setelah program
selesai dan mendapatkan informasi tentang efektifitas pengambilan keputusan.
Pengukuran efektifitas program dapat dilakukan dengan cara mengevaluasi
kesuksesan dalam pelaksanaan program. Pengukuran efektifitas program di
komunitas dapat dilihat berdasarkan:
a. Pengukuran komunitas sebagai klien.
Pengukuran ini dapat dilakukan dengan cara mengukur kesehatan ibu dan anak
mengukur kesehatan komunitas.
b. Pengukuran komunitas sebagai
pengalaman membina hubungan. Pengukuran dilakukan dengan cara melakukan
pengukuran sosial dari determinan kesehatan.
c. Pengukuran komunitas sebagai sumber.
Ini dilakukan dengan mengukur tingkat keberhasilan pada keluarga atau
masyarakat sebagai sumber informasi dan sumber intervensi kegiatan (Achjar,
2012).
DAFTAR PUSTAKA
Achjar,
Komang Ayu Henny. Asuhan keperawatan
komunitas: teori dari praktik. Jakarta: EGC; 2012