BAB I
TINJAUAN TEORI
A.
PENGERTIAN
Fraktur
adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan
epifisis baik yang bersifat total maupun parsial (PERMENKES RI, 2014).
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik (Price dan Wilson, 2006).
Fraktur
tertutup adalah suatu fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar
(PERMENKES RI, 2014).
Fraktur cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia
dan fibulayang biasanya terjadi pada bagian proksimal (kondilus), diafisis, atau
persendian pergelangan kaki (Muttaqin, 2008).
B. ETIOLOGI
Etiologi dari fraktur menurut Price
dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:
1.
Cidera atau benturan
2.
Fraktur patologik
Fraktur
patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh
karena tumor, kanker dan osteoporosis.
3.
Fraktur beban
Fraktur beban atau fraktur
kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru saja menambah tingkat aktivitas
mereka, seperti baru di terima dalam angkatan bersenjata atau orang- orang yang
baru mulai latihan lari.
C.
KLASIFIKASI FRAKTUR
1.
Klasifikasi
klinis
a. Fraktur
tertutup
Bila tidak terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi berdasarkan keadaan jaringan
lunak sekitar trauma, yaitu:
1)
Tingkat 0 :
fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya.
2)
Tingkat 1 :
fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
3)
Tingkat 2 :
fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan.
4)
Tingkat 3 :
Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman sindroma
kompartement.
b. Fraktur
terbuka
Bila terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar, karena adamya perlukaan kulit. Fraktur terbuka ada 3
derajat :
1) Derajat
I
Luka <1 cm,
kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka remuk
2) Derajat
II
Luka >1 cm,
kerusakan jaringan lunak, fraktur kominutif sedang, kontaminasi sedang
3) Derajat
III
Terjadi
kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot, dan
neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi
c. Fraktur dengan komplikasi,missal malunion, delayed,
union. Nonunion, infeksi tulang.
(Nanda
NIC NOC 2013)
2.
Berdasarkan
jumlah garis
a. Simple
fraktur : terdapat satu garis fraktur
b. Multiple
fraktur : lebih dari satu
garis fraktur
c. Comminutive
fraktur :
lebih banyak garis fraktur dan patah menjadi fragmen kecil
3.
Berdasarkan
luas garis fraktur
a. Fraktur
inkomplit: tulang tidak terpotong secara total
b. Fraktur
komplit : tulang terpotong secara total
c. Hair
line fraktur : garis fraktur tidak tampak
4.
Berdasarkan
bentuk fragmen
a. Green
stick :
retak pada sebelah sisi tulang
b. Frakur
transversal :
fraktur fragmen melintang
c. Fraktur
obligue : fraktur fragmen miring
d. Fraktur
spiral :
fraktur fragmen melingkar
(Nanda
NIC NOC 2013)
D.
TANDA
DAN GEJALA
Tanda
dan gejala fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan
ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna.
Pertama, nyeri terus menerus dan
bertambah beratnya sampai fragmen tulang di imobilisasi, spasme otot yang
menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang di rancang untuk
meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
Kedua, setelah terjadi fraktur
bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak tidak alamiah bukan
seperti normalnya, pergeseran fraktur menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang
bias di ketahui dengan membandingkan dengan ekstrimitas yang normal.
Ekstrimitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
Ketiga, pada fraktur panjang,
terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat
diatas dan dibawah tempat fraktur.
Keempat, saat ekstrimitas di
periksa, teraba adanya derik
tulang yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan yang lainya.
Dan yang terakhir, pembengkakan
dan perubahan warna lokal
pada kulit terjadi sebagai akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti
fraktur. Tanda ini biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah
cedera (Smelzter dan Bare, 2002).
E. PEMERIKSAAN
DIAGNOSTIK
1.
Foto
polos
umumnya
dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan lateral, untuk menentukan lokasi,
luas dan jenis fraktur.
2.
Pemeriksaan
radiologi lainnya
Sesuai
indikasi dapat dilakukan pemeriksaan berikut, antara lain: radioisotope
scanning tulang, tomografi, artrografi, CT-scan, dan MRI, untuk
memperlihatkan fraktur dan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3.
Pemeriksaan
darah rutin dan golongan darah
Ht
mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi
fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan sel darah putih
adalah respon stress normal setelah trauma.
Kreatinin
: Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal. 5. Profil
koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah.
(PERMENKES
RI, 2014).
F. PENATALAKSAAN
Menurut
PERMENKES RI, 2014, penatalaksanaan dapat dilakukan dengan:
1.
Lakukan
penilaian awal akan adanya cedera lain yang dapat mengancam jiwa.
2.
Pasang
cairan untuk mengantisipasi kehilangan darah yang tidak terlihat misalnya pada
fraktur pelvis dan fraktur tulang panjang
3.
Lakukan
stabilisasi fraktur dengan spalk, waspadai adanya tanda-tanda kompartemen
syndrome seperti odema, kulit yang mengkilat dan adanya nyeri tekan.
Sedangkan
menurut Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu
menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1.
Rekognisi
(Pengenalan)
Riwayat
kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnosa dan
tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri
sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas
integritas rangka.
2.
Reduksi
(manipulasi/ reposisi)
Reduksi
adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen tulang yang patah
sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya untuk memanipulasi
fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur
dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka.
Reduksi
fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan
elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan
kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami
penyembuhan.
3.
Retensi
(Immobilisasi)
Upaya
yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula
secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi,
atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna.
Metode
fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan
teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk
fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi
fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk
menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal
perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat
fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan
eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur
pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan
pelvis.
Gambar 3 : Pemasangan OREF pada tibia dan fibula
Prinsip
dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan pin yang diletakkan pada bagian
proksimal dan distal terhadap daerah atau zona trauma, kemudian pin-pin
tersebut dihubungkan satu sama lain dengan rangka luar atau eksternal frame
atau rigid bars yang berfungsi untuk menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat
digunakan sebagai temporary treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai
definitive treatment berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada
tulang dan jaringan lunak
4.
Rehabilitasi
Mengembalikan
aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari atropi atau
kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus segera dimulai melakukan
latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi.
G. KOMPLIKASI
Komplikasi
fraktur menurut Price dan Wilson, 2006 antara lain:
1. Komplikasi
awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak, sindrom kompartement,
kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.
a.
Syok
Syok
hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan darah
eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bias menyebabkan penurunan
oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang rusak, dapat
terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra.
b.
Sindrom emboli lemak
Pada
saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam pembuluh darah karena
tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin
yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan
memudahkan terjasinya globula lemak pada aliran darah.
c.
Sindroma Kompartement
Merupakan
masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang
dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan karena penurunan
ukuran kompartement otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat,
penggunaan gibs atau balutan yang menjerat ataupun peningkatan isi kompatement
otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah (misalnya
: iskemi,dan cidera remuk).
d.
Kerusakan Arteri
Pecahnya
arteri karena trauma bias ditandai denagan tidak ada nadi, CRT menurun,
syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang
disbabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi, dan pembedahan.
e.
Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam.
Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bias juga karena
penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
f.
Avaskuler
nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali dengan
adanya Volkman’s Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2001)
2.
Komplikasi
dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union, delayed union, dan
non union.
a.
Malunion
Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh
dalam posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupaka penyembuhan tulang
ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk
(deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
b.
Delayed
Union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union
merupakankegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan
tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke
tulang.
c.
Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan.
Nonunion di tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur
yang membentuk sendi palsu atau pseuardoarthrosis. Ini
juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
H.
PATHWAY
(
NANDA Aplikasi NIC NOC, 2013 )
I. PROSES
KEPERAWATAN
1. Pengkajian
keperawatan
Pada
pengkajian fokus yang perlu di perhatikan pada pasien fraktur ada berbagai
macam meliputi:
1) Riwayat
penyakit sekarang
Kaji
kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang kruris, pertolongan
apa yang di dapatkan, apakah sudah berobat ke dukun patah tulang. Selain itu,
dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan, perawat dapat mengetahui
luka kecelakaan yang lainya. Adanya trauma lutut berindikasi pada fraktur tibia
proksimal. Adanya trauma angulasi akan menimbulkan fraktur tipe konversal atau
oblik pendek, sedangkan trauma rotasi akan menimbulkan tipe spiral. Penyebab
utama fraktur adalah kecelakaan lalu lintas darat.
2) Riwayat
penyakit dahulu
Pada
beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah tulang sebelumnya
sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu seperti kanker tulang atau
menyebabkan fraktur patologis sehingga tulang sulit menyambung. Selain itu,
klien diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko mengalami osteomielitis akut
dan kronik serta penyakit diabetes menghambat penyembuhan tulang.
3) Riwayat
penyakit keluarga
Penyakit
keluarga yang berhubungan dengan patah tulang cruris adalah salah satu faktor
predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang sering terjadi pada
beberapa keturunan dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
Muttaqin (2008)
4) Nyeri
/ kenyamanan
Nyeri
berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan /
kerusakan tulang pada imobilisasi ), tidak ada nyeri akibat kerusakan syaraf
(Gangguan sensibilitas). Spasme
/ kram otot (setelah imobilisasi), Sulit digerakkan, Deformitas, Bengkak ,
Perubahan warna , Kelemahan otot (PERMENKES RI, 2014).
5) Pemeriksaan
Fisik
1)
Inspeksi (look)
Adanya deformitas dari jaringan tulang, namun tidak menembus kulit. Anggota
tubuh tdak dapat digerakkan.
2)
Palpasi (feel)
a)
Teraba deformitas
tulang jika dibandingkan dengan sisi yang sehat.
b)
Nyeri tekan
c)
Bengkak
d)
Mengukur panjang
anggota gerak lalu dibandingkan dengan sisi yang sehat.
e)
Gerak (move)
Umumnya tidak dapat digerakkan
(PERMENKES RI, 2014).
2. Diagnosa
keperawatan
a. Nyeri
akut berhubungan dengan agen cidera fisik
b. Hambatan
mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan musculoskeletal
c. Ketidakefektifan
perfusi jarinhgan perifer berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang factor
pemberat (merokok, gaya hidup), diabetes mellitus, hipertensi
d. Resiko
infeksi berhubungan dengan trauma jaringan
e. Resiko
syok berhubungan dengan hipotensi, hipovolemi, hipoksemia, sepsis
f. Gangguan
integritas kulit berhubungan dengan zat kimia, radiasi, medikasi, perubahan
pigmentasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar